Menjadi orang tua adalah pilihan. Karena sesungguhnya tidak semua orang mampu dan sanggup menjadi orang tua yang baik di mata anak-anak mereka. Untuk itu, lima hal berikut ini wajib Anda ketahui sebelum menjadi orang tua milenial.
Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah webtoon berjudul The Monster Duchess and Contract Princess.
Di episode terbaru yang saya baca, ada satu kalimat yang diucapkan Duchess Salvatore tentang pernikahan. Membuat saya tergugah, dan sebagian nurani saya membenarkan.
“Aku pernah dengar, kalau kita bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya setelah menikah.”
“Sebenarnya tidak ada gunanya menikah.”
“Eh?”
“Tentu saja kalau kamu punya seseorang yang kamu cintai, menikah itu bagus. Tapi jika tidak, maka kamu tidak perlu menikah bahkan jika orang-orang memaksamu melakukannya.”
“Tapi aku selalu diajari kalau semua wanita harus menikah.”
“Apa semua orang yang sudah menikah dan mengatakan itu padamu terlihat bahagia?”
Sungguh.
Ini mungkin hanya sebuah webtoon. Mungkin hanya sebuah gambar dengan kalimat-kalimat pendek.
Tapi, apakah kita sebagai orang dewasa tidak terhenyak sesaat ketika membaca percakapan itu?
Saya, sih, iya.
Ada berapa banyak hal yang diwajibkan orang tua kita untuk kita patuhi? Yang membuat diri kita terpaksa dan tidak bisa membatasi diri sendiri?
Saya rasa ada banyak.
Karena saya pun generasi 90an, yang diasuh dan dididik oleh orang tua yang sangat disiplin.
Saya kurang bebas dalam menentukan pilihan karena seolah semuanya sudah diatur dan haram hukumnya membantah ucapan atau melanggar norma yang dibuat orang tua saya.
Ketika saya bertanya alasan di balik aturan-aturan atau sikap orang tua saya, mereka enggan menjelaskan dengan baik.
“Jadi anak itu harus nurut orang tua!”
Begitulah kalimat andalan mereka.
Lalu, apakah kalimat andalan tersebut akan selalu berlaku? Selamanya?
Mungkin iya.
Dalam agama manapun juga diajarkan untuk berbakti pada orang tua.
Namun, satu lagi yang perlu digarisbawahi.
Seorang anak tidak bisa memilih orang tuanya. Sebaliknya, orang tua selalu bisa memilih ingin memiliki anak seperti apa.
Paham, kan, maksudnya?
Yang terhormat calon ibu dan calon ayah, selalu bersikaplah bijaksana.
Saya tidak bermaksud menggurui di sini. Karena saya pun belum tentu bisa menjadi orang tua yang sempurna.
Lagi pula, mana ada manusia yang sempurna?
Tapi, ada banyak hal yang perlu Anda ketahui sebelum memutuskan menjadi orang tua.
Dari banyaknya hal tersebut, lima hal berikut mungkin ini bisa bisa menjadi pembuka wawasan Anda di dunia parenting.
1. Menjalin Pertemanan
Semua orang tua pasti ingin dihormati anaknya. Saya rasa semua orang tua akan berpikiran begitu.
Namun, orang tua di zaman dahulu, mungkin berpikiran bahwa penghormatan hanya bisa diperoleh dengan menerapkan aturan yang ketat.
Menjadi berwibawa dan bersuara tegas. Kalimatnya wajib didengar dan dipatuhi.
Tanpa melihat peran ayah atau ibu, selalu ada sosok demikian di antara para orang tua.
Di lain hal, apakah anak akan menjadi penurut dengan sukarela?
Saya rasa tidak. Mereka akan terpaksa, karena posisi orang tua mereka lebih dominan.
Hal inilah yang menyebabkan anak menyembunyikan banyak hal dari orang tuanya.
Banyak anak yang sikapnya di rumah berbanding terbalik dengan sikapnya di luar rumah. Banyak anak yang tidak berani pulang ketika sedang dihadapkan pada masalah sosial.
Alasannya karena mereka takut orang tua mereka marah.
Mereka tahu rasanya dimarahi sampai jantung berdegup kencang, kepala pusing, sampai sesak nafas.
Apakah Anda pernah mengalami hal ini?
Semoga tidak. Atau jika ya, semoga anak Anda tidak mengalami yang sama.
Alih-alih menjadi orang tua dengan wibawa dan ketegasan yang menakutkan, mengapa kita tidak bisa menjadi teman bagi anak-anak kita?
Peran kita tetap sama. Kita tetap memberi mereka batasan sebagai orang tua.
Tapi, kita tidak perlu membuat mereka merasa takut dan merasa menjadi bawahan kita.
Coba bayangkan, jika seorang anak menganggap orang tuanya sebagai teman.
Mereka akan lebih atau bahkan selalu terbuka tentang segala hal pada orang tuanya.
Curhat setiap hari. Tidak ada obrolan yang membosankan dan akan saling merindukan ketika tidak berjumpa.
Kemarahan mungkin diperlukan sewaktu-waktu, tapi bukan berarti menjadi solusi untuk setiap permasalahan.
Semoga Anda selalu ingat, bahwa tidak ada anak yang tidak takut pada orang tuanya. Meski mereka menganggapnya teman pun, mereka akan menghormati dan menghargai Anda sebagai seorang teman yang baik.
Tentu saja, sekaligus menyayangi Anda tanpa batas.
2. Berdiskusi Sebelum Memarahi
Sebelumnya saya sudah mengatakan bahwa kemarahan itu diperlukan sewaktu-waktu. Namun, akan sangat baik jika kemarahan itu tidak menimbulkan trauma atau tekanan mental pada anak.
Apakah ada caranya?
Ada. Berdiskusi.
Pertama, Anda harus menenangkan diri Anda dengan menarik napas yang dalam tiga kali ketika mengetahui anak Anda melakukan hal yang tidak baik.
Lalu, ajak duduk dan berdiskusi bersama.
Katakan bahwa hal yang telah dilakukan anak Anda adalah hal yang tidak baik, yang merugikan dirinya dan mungkin orang lain.
Jelaskan pada mereka alasannya agar mereka paham dan tidak mengulanginya lagi.
Berdiskusi panjang dengan pikiran yang jernih adalah hal yang baik untuk Anda dan anak Anda.
Jika mereka mengulanginya lagi, maka diskusikan pula hukuman apa yang perlu ia terima, alih-alih memutuskannya secara sepihak.
Tentu, sebagai orang tua, Anda wajib menjadi kepala diskusi. Dengan kata lain, buat beberapa pilihan yang wajib dipilih anak sebagai bentuk hukumannya.
Juga perlu diingat, ketika memberi hukuman, sebisa mungkin hindari menggunakan hukuman fisik.
Memang akan membuat anak takut dan jera. Namun, tidak hanya itu, mereka akan trauma dan bisa stres karenanya.
Berilah hukuman yang wajar dan bermanfaat.
Misalnya, membantu Anda membersihkan rumah, menerjemahkan buku dalam satu minggu, dan sebagainya.
Hukuman itu tidak melulu membuat mereka takut dan jera, tapi juga membuat mereka belajar tentang satu-dua hal.
Bukankah akan sangat menyenangkan jika hukuman tidak terasa seperti hukuman?
3. Memberi Kebebasan Memilih Sejak Dini
Jujur, memilih sesuatu adalah hal paling menyenangkan bagi seorang anak.
Saya pernah melihat seorang anak dengan mata berbinar-binar ketika ia diminta untuk memilih mainan.
Mungkin, dulu saya dan Anda juga begitu.
Tidak melulu soal mainan atau barang yang disukai anak, memilih adalah suatu hal yang bisa menjadi pembelajaran bagi anak.
Namun, tidak semua orang tua membebaskan anaknya untuk memilih.
Selalu ada orang tua yang berdalih bahwa mereka lebih tahu tentang kebutuhan anaknya daripada anak mereka sendiri.
Apakah harus selalu seperti itu?
Mengapa tidak berdiskusi dan membicarakannya bersama?
Setidaknya, buat anak Anda tahu bahwa pilihan tersebut memang baik untuknya. Beri mereka kesempatan berpikir dan memilih.
Saya yakin Anda akan merasa kesal jika diberi atau dipaksa menerima sesuatu yang Anda tidak suka atau tidak inginkan.
Anak pun sama.
Memberi mereka kebebasan memilih bukan berarti benar-benar melepas peran. Bukan berarti Anda menerima segala pilihan anak Anda.
Anda harus memberikan wawasan pada anak Anda tentang dampak negatif dan positif dari pilihan mereka.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, berdiskusilah.
Diskusi bukan hanya untuk menentukan yang salah dan yang benar, tetapi untuk saling berbagi pemikiran dan belajar.
4. Peraturan Tidak Selalu Berlaku
Setiap orang tua wajib membuat peraturan. Juga, mereka wajib memberi pemahaman dan sebab akibat dari peraturan tersebut kepada anak-anaknya.
Jangan hanya mengandalkan kalimat “Anak harus nurut pada orang tua”.
Hal ini tidak membuat anak Anda mematuhi peraturan secara sukarela.
Mereka akan bertanya-tanya alasan di balik peraturan tersebut.
Karenanya, sebelum mereka mendapat pemahaman yang salah, beritahu mereka.
Yang tidak kalah pentingnya, beritahu bahwa tidak semua peraturan adalah mutlak.
Tekankan hal ini pada mereka.
Ada situasi dan kondisi yang menyebabkan sebuah peraturan itu berlaku dan tidak berlaku.
Misalnya, Anda melarang anak Anda membaca komik terlalu lama.
Bagaimana jika membaca komik adalah tugas dari gurunya? Bagaimana jika anak Anda sudah dengan rajin menyelesaikan semua PR-nya agar bisa membaca komik sepanjang weekend?
Untuk itu, Anda perlu membuat mereka paham bahwa ada keadaan yang membuat suatu peraturan tidak berlaku.
Sekali lagi, sering-seringlah berdiskusi santai dengan anak-anak Anda.
5. Mandiri adalah Kewajiban
Saya teringat dengan sebuah iklan dari Thailand yang berkisah tentang seorang ibu dan anaknya.
Si anak ingin es stik seperti teman-temannya, tapi ia dan ibunya tidak punya cukup uang. Sang ibu pun membuatkannya es stik dengan buah yang disukai anaknya.
Karena rasanya enak, si anak lalu menjualnya. Ia mengalami kesulitan berjualan dan sang ibu tidak diam saja. Well, Anda bisa melihat cerita lengkapnya melalui video berikut ini.
Apa yang bisa dipetik dari cerita tersebut?
Bergantung tafsiran Anda, pemirsa.
Namun, yang menjadi poin saya adalah, mengajarkan anak untuk mandiri adalah kewajiban orang tua.
Ingat, kita tidak tahu tentang hari esok, bulan depan, atau tahun depan.
Kita tidak bisa selalu bersama anak-anak kita.
Dunia ini memang indah, tetapi juga sangat keras dan berbahaya.
Sebagai orang tua yang baik, persiapkan anak-anak Anda untuk bisa hidup mandiri.
Bukan, bukan hal rumit seperti mencari uang.
Setidaknya, awali dari hal yang sederhana.
Belajar memasak, misalnya. Jika ada anggota keluarga sakit, atau anak Anda terpaksa dalam keadaan sendiri, ia bisa menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri.
Belajar tentang menyeterika dengan baik, cara memasang tabung gas, dan hal-hal lainnya.
Ajari mereka untuk bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat, yang bisa menyelamatkan diri mereka suatu saat nanti.
Memanjakan bukan berarti melakukan segalanya untuk anak dan membiarkan mereka tidak bisa apa-apa.
Justru, ketika Anda mengajari mereka segala hal yang Anda bisa, itu adalah bentuk memanjakan yang paling indah.
Saya yakin, Anda pasti sadar bahwa masih ada banyak hal yang perlu Anda ketahui sebelum menjadi orang tua.
Apalagi menjadi orang tua untuk generasi milenial yang sering bertanya dan mudah bergejolak jiwanya.
Ya, sebenarnya gejolak jiwa di masa pubertas itu dialami siapa saja, bukan? Bukan hanya anak-anak di generasi tertentu.
Tapi, perkembangan zaman dan teknologi bisa memengaruhi pola pikir dan tingkah laku anak-anak.
Anda wajib tahu tentang perkembangan pembelajaran, teknologi dan isu-isu terkini.
Jadi, jangan lupa belajar ya, para calon orang tua.
Bukan hanya siswa saja yang perlu belajar.
Belajar itu sepanjang masa, dalam hal apapun.
Terutama dalam hal menjadi orang tua.
Karena kita tidak bisa menerapkan semua norma yang sama dari orang tua kita dahulu pada anak-anak kita nanti.