Membeli adalah tindakan konsumtif. Pada dasarnya, manusia itu konsumtif. Jadi, seharusnya tidak sulit agar orang mau membeli produk Anda.
Nah, ini, sih, zaman dahulu kala banget!
Sekarang, di zaman digital ini, satu jenis barang saja ada ratusan hingga ribuan orang yang menjual.
Jadinya, jumlah barang dan permintaan tidak seimbang. Lebih banyak barang daripada pembeli.
Muncullah saingan-saingan bisnis.
Tapi, ada, lho, cara agar orang mau membeli produk Anda.
Intinya, merayu.
Jenis merayu ini ada banyak sekali bentuk dan caranya.
Dan, rayuan ini dianggap berhasil jika konsumen Anda tidak sadar sedang dirayu.
Lebih jauhnya, Anda seperti menghipnotis orang secara legal.
Bukan dengan ilmu gaib, ya, readers.
Di mana ada penjual, di situ ada pembeli. Tapi, tidak berhenti sampai di situ. Ada banyak alasan yang membuat seseorang akhirnya membeli sesuatu. Artinya, tidak mudah membuat seseorang membeli produk Anda. Lalu, apakah ada cara mudahnya? Ada!
Karena, seorang pembeli tertarik dengan tawaran (rayuan) Anda tanpa paksaan kasar.
Halus, iya. Hehe.
Dalam ilmu penjualan, ini dinamakan tindakan persuasif.
Sederhananya, mengubah pikiran seseorang dengan cara membujuk.
Membujuk, ya, bukan mbujuki (menipu – dalam bahasa jawa).
Wharton J. Berger, profesor marketing, dalam bukunya “The Catalyst” menjabarkan teknik dan strategi mengubah pikiran seseorang.
Jika Anda bisa mengubah pikiran seseorang dengan cara memotivasinya untuk membujuk diri mereka sendiri, artinya Anda berhasil.
Menurut Berger, seseorang cenderung menjadi defensif ketika diminta untuk melakukan sesuatu.
Artinya, baik Anda maupun saya, akan menolak ketika seseorang menyuruh kita melakukan sesuatu terutama hal yang tidak kita tahu atau tidak kita inginkan.
Betul?
Namun, jika Anda berhasil membuat seseorang menyimpulkan sesuatu sesuai keinginan Anda, artinya Anda berhasil meminta mereka melakukan sesuatu tanpa mereka sadari.
Paham, kan?
Misalnya, Anda menjual salad buah.
Jika Anda langsung menawarkan, “Ayo, beli salad buah saya!”
Dijamin, orang enggan membeli salad buah Anda.
Tapi, jika Anda menawarkannya dengan cara, “Mau makan sehat dan enak?”, maka orang akan lebih tertarik.
Siapa, sih, yang tidak mau makan enak tapi sehat?
Seperti itu.
Mau tau lebih detailnya?
Pahami 4 Cara Berikut Ini Agar Orang Mau Membeli Produk Anda
1. Tiga Saja Cukup
Pilih mana, makan ayam goreng atau daging empal sapi?
Hehe. Saya jadi seperti ibu Anda, ya?
Saya yakin, orang lebih suka memilih daripada disuruh.
Maksudnya, alih-allih mendengar ibu Anda, “Makan ayam gorengnya!”, Anda pasti lebih suka mendengar, “Mau makan ayam goreng atau daging empal sapi?”
Mungkin Anda tidak sadar, bahwa sebenarnya keduanya adalah hal yang sudah disiapkan oleh ibu Anda.
Dengan kata lain, Anda diarahkan untuk memilih pilihan yang sudah ada sesuai keinginan ibu Anda.
Pandai juga ya para ibu?
Anda bisa mencontohnya untuk bisa menarik minat calon pembeli.
Menurut Berger, memberikan opsi terbatas akan membuat penawaran kita tepat sasaran.
Sama halnya yang dilakukan oleh pebisnis lainnya, biro iklan misalnya.
Alih-alih hanya membawa satu proposal, mereka akan membawa dua atau tiga proposal.
Mengapa?
Karena, jika kita menyodorkan satu produk pilihan kepada seseorang, ia akan sibuk mencari celah dari satu produk yang ditawarkan tersebut.
Tapi, jika Anda menunjukkan tiga pilihan, ia akan meminta Anda untuk membantunya memilih yang terbaik.
Yang perlu diingat adalah, jangan memberikan terlalu banyak pilihan.
Dua boleh, tiga cukup.
2. Banyak Bertanya vs Banyak Bercerita
Jujur, dalam sebuah presentasi, apakah Anda merasa mengantuk ketika pembicara berceramah?
Saya juga.
Apakah Anda akan mencari celah alias kekurangan dari ceramah pembicara?
Wah, saya juga.
Eits, kita bukan jodoh (asmara), ya. Tapi, mungkin kita memiliki kesamaan pikiran.
Apa maksudnya?
Seseorang yang berceramah, dengan istilah lain, ia “bercerita”.
Jika ia tidak pandai menghidupkan suasana dengan cerita yang mengesankan, yang terjadi pada audiens adalah bosan.
Bosan sama dengan mengantuk.
Selain itu, orang yang mendengarkan akan cenderung defensif terhadap cerita yang panjang.
Baik itu karena cerita Anda berlebihan, atau karena kebosanan.
Kebalikannya, jika cerita produk yang ingin Anda sampaikan berbentuk pertanyaan, akan lain reaksinya.
Misalnya, Anda ingin seseorang membeli produk losion Anda.
Menurut Anda, mana skenario yang terbaik untuk disampaikan pada calon pembeli Anda?
A: Halo, Bu. Saya punya losion yang bagus. Losion ini terbuat dari campuran madu dan tea tree oil. Banyak artis yang pakai, Bu. Dalam sebulan, kulit ibu akan halus dan putih seputih susu. Harganya murah, lho, Bu. Cuma Rp 120.000, saja. Dijamin ibu pasti suka dengan hasilnya.
B: Halo, Bu. Kulit ibu sepertinya agak kusam, ya? Apakah ibu sudah menggunakan losion hari ini? Losion ibu terbuat dari apa? Wah, saya punya losion yang baru launching tahun ini. Apakah ibu mau coba? Sudah banyak testimoni yang bagus soal losion ini, Bu.
Skenario A, Anda akan tampak seperti penjual di gang pasar. Bukan berarti jelek.
Hanya kurang profesional.
Dalam pikiran si ibu, mungkin akan terlintas,”Artis mana yang pakai? Seputih susu? Berarti ada zat pemutihnya? Harganya kok mahal sekali? Ah, malas beli!”
Kalau skenario B, Anda mengajukan pertanyaan yang akan membuat calon pembeli Anda mulai melirik Anda.
Si ibu akan menjawab pertanyaan Anda begitu tertarik dengan produk yang Anda jual. Dari situlah, Anda bisa memainkan peran untuk semakin membuatnya tertarik.
Berger juga menyatakan ide serupa.
Menurut Berger, orang akan malas mengikuti petunjuk, namun mereka lebih suka mengikuti jalan pikirannya sendiri.
Bukan berarti tidak boleh bercerita atau memberi petunjuk, ya.
Intinya, buatlah lebih banyak pertanyaan dan sedikit pernyataan.
Keduanya sama-sama rayuan, hanya berbeda bentuk saja.
“Mereka mulai dengan mengajukan pertanyaan, mengunjungi dengan para pemangku kepentingan, mendapatkan perspektif mereka, dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan,” kata Berger.
Maksudnya, pertanyaan bisa meningkatkan keberhasilan Anda, karena Anda mampu mendapatkan ketertarikan konsumen dan melibatkan mereka untuk memutuskan membeli produk Anda.
3. Temukan Kekurangan pada Diri Anda dan Tim Anda
Kata Berger, setiap orang selalu berusaha untuk bertindak konsisten.
Mereka ingin apa yang mereka yakini sesuai dengan apa yang mereka lakukan.
Dengan kata lain idealisme.
Terkadang, suatu idealisme memiliki celah pada kondisi tertentu.
Karenanya, Anda harus selalu fokus pada celah yang ada.
Bingung keterkaitannya dengan memancing minat pembeli?
Oke, saya beri contoh.
Misalnya, Anda seorang kepala divisi penjualan. Ada 1200 produk baru yang harus Anda jual bersama tim Anda.
Anda yakin, Anda dan tim bisa menjualnya dalam waktu tiga bulan.
Anda sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin, sesempurna mungkin.
Ternyata, di bulan kedua, baru 10% jumlah produk yang berhasil terjual.
Sampai akhir bulan kedua, belum ada peningkatan spesifik.
Anda ingin mengakhiri strategi penjualan Anda, tapi bimbang.
Anggota tim Anda hanya manut karena mereka sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Anda sadar.
Ada celah, ada kesalahan dalam strategi penjualan Anda.
Sederhananya, apa yang Anda pikirkan tidak sejalan dengan apa yang Anda lakukan.
Ada kesenjangan dalam pikiran dan tindakan.
Berger menyarankan, cobalah berdiskusi dengan tim.
Tanyakan, “Mungkin, kita perlu strategi lain dan mulai dari awal?”
Bisa jadi, dari proses sharing ini Anda akan menemukan celah yang lebih jelas dari penuturan tim Anda.
Buat strategi baru. Langkah baru.
Tanyakan lagi, apakah tim Anda setuju dengan strategi baru Anda? Atau ada ide lain?
Diskusikan dengan baik, lalu, mulai dari awal.
Jangan lupa untuk selalu menemukan celah pada strategi Anda.
Jika Anda berhasil menemukan kekurangan lalu memperbaikinya, saya yakin penjualan Anda pasti meningkat.
4. Pahami Pembeli
Ketika sedang dalam masalah, Anda ingin bercerita kepada seorang teman.
Coba jujur pada saya.
Anda bercerita dengan tujuan mendapatkan empati atau saran?
Dua-duanya?
Tapi, mana yang pertama?
Saya 95% yakin, Anda sedang menginginkan empati.
Saran adalah nomor dua.
Dengan kalimat lain, setiap orang butuh didengarkan masalahnya.
Beri mereka empati.
Lalu, baru Anda bisa menyampaikan saran secara halus.
Jika Anda bisa berempati pada calon pembeli, artinya Anda memahami mereka.
Misalnya, seorang calon pembeli datang ke toko kosmetik Anda.
Ia datang lalu berkata, “Kulit saya kering sekali akhir-akhir ini.”
Jangan langsung memintanya untuk membeli produk Anda.
Berempatilah.
Misalnya, jawablah dengan, “Wah, memang cuaca sedang panas, Bu.”
Biarkan calon pembeli Anda bercerita tentang masalahnya.
Berikan reaksi sejujurnya, tanpa ada pancingan membeli produk.
Jika ia sudah selesai, ia akan dengan sendirinya meminta saran Anda.
Kalau sudah begitu, sarankan dengan bijak.
Berger bilang, coba gunakan kata ganti inklusif.
Artinya, Anda melibatkan si ibu.
Misalnya, “Sepertinya kulit kita tipenya sama, Bu. Saya kemarin menggunakan krim ini. Kulit saya bisa lembab seharian. Apa ibu mau coba tes di punggung tangan dulu?”
Intinya, jangan langsung memaksa.
Tidak ada orang yang suka dipaksa untuk melakukan sesuatu.
Daripada memaksa, cobalah untuk mendorong mereka dengan cara menarik perhatian mereka.
Sudah paham?
Jika belum, Anda bisa bertanya pada kolom komentar di bawah.
Setidaknya, cara-cara tersebut bisa menjadi referensi Anda agar Anda bisa dengan mudah menjual sesuatu.
Tenang, saya tidak memaksa Anda untuk menggunakan semuanya.
Satu saja boleh.
Semuanya juga boleh.
Sebebas Anda.
Akhir kalimat, semoga bisnis Anda lancar, readers!
Jangan lupa share artikel kami jika bermanfaat bagi Anda. 🙂